Jumat, 21 Agustus 2015

Ushul Fiqh


AL AHKAM

Makalah


Disusun Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah: Ushu Fiqh
Dosen Pengampu : H. Husnul Haq, Lc., MA.



Disusun oleh :










SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PURWOKERTO
2012




BAB I
PENDAHULUAN

          Dalam Islam terdapat sumber hukum yang paling utama yaitu Al Quran. Islam merupakan suatu ajaran agama yang di dalamnya terdapat hukum-hukum syara’ dan digunakan untuk mengatur umat islam itu sendiri. Sebagai seorang muslim tentu saja ia harus mengikuti ketentuan - ketentuan hukum yang ada. Allah SWT menciptakan hukum tersebut dengan tujuan untuk sebuah kemashlahatan umatnya. Seperti dalam firman Allah SWT dalam QS Al Maidah: 6 yang artinya “Allah tidak hendak menyulitkan kamu”. Dalam ayat tersebut menerangkan bahwa hukum - hukum didasarkan atas kemashlahatan dan berhubungan dengan sebab, juga mengandung petunjuk bahwa hukum itu tergantung pada sebab dan dasar pijakannya. Oleh karena itu, pemberlakuan hukum sangatlah kontekstual terhadap keadaan yang ada tetapi mengikat setiap umatnya.
           Sebagai umat islam, kita dituntut untuk mengetahui tentang bagaimana hukum islam yang ada. Seluk beluk hukum islam akan dikaji secara lebih mendetail dalam makalah ini. Penulis menyajikan pembahasan seputar mengenai hukum yaitu hakim, hukum, perbuatan yang dikenai hukum serta seesorang yang dikenai hukum.














BAB II
PEMBAHASAN

A.  HUKUM TAKLIFI DAN WADHY
1.    Hukum Taklifi
a.    Pengertian
          Hukum taklifi menurut Khalaf ialah hukum yang menghendaki dilakukanya suatu pekerjaan oleh mukalaf, melarang mengerjakanya, atau melakukan pilihan antara melakukan dan meningggalkanya.
          Menurut Muchtar hukum taklifi ialah hukum yang mengandung tuntunan (suruhan atau larangan).
          Sedangkan Haroen mengemukakan bahwa hukum taklifi ialah tuntutan Allah yang berkaitan dengan perintah untuk berbuat atau untuk meningggalkan suatu perbuatan.
          Dari pernyatan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum taklifi merupakan hukum bagi seorang mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkan perintah Allah.
b.    Macam-macam
1)   Ijab
Ijab adalah tuntutan secara pasti dari syar’i untuk dilakukan dan tidak boleh ditinggalkan, karena barangsiapa yang meninggalkan maka akan dikenai hukuman. Contohnya dalam QS Al Baqorah: 110
Îû NÎgÎ/qè=è% ÖÚz£D ãNèdyŠ#tsù ª!$# $ZÊttB ( óOßgs9ur ë>#xtã 7OŠÏ9r& $yJÎ/ (#qçR%x. tbqç/Éõ3tƒ ÇÊÉÈ  
Artinya: “Dalam hati mereka ada penyakit [23], lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.”
    
Yaitu perintah Allah untuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Dalam ayat tersebut menggunakan fiil amr yang menurut ahli fiqh itu merupakan suatu perintah yang wajib dilaksanakan.
2)      Nadb
Nadb adalah anjuran untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak pasti harus dilakukan. Jika seseorang tidak melakukan anjuran tersebut maka tidak dikenai hukuman. Misalnya dalam Surat Al-Baqarah: 282 yang artinya “Apabila kamu berhutang dengan berjanji akan membayarnya pada ketika yang telah ditentukan, maka tulislah hutang itu.”
Dalam ayat tersebut terdapat perintah (wujub)  menulis akan tetapi, terdapat indikasi yang memalingkan perintah itu kepada nadb yang terdapat dalam lanjutan ayat selanjutnya (Al Baqarah: 283) yang artinya:
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang diercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya).
Tuntutan wujub dalam ayat itu berubah menjadi nadb, dimana Allah menyatakan bahwa jika ada sikap saling mempercayai maka penulisan hutang tidak terlalu penting.
3)   Ibahah
Ibahah adalah ketentuan Allah yang mengandung pilihan antara melakukan dan meninggalkannya.
Contohnya, dalam Surat Al Jumuah ayat:10
Artinya: “Apabila telah menunaikan sembahyang, maka bertebarkanlah kamu di muka bumi.
Dalam surat tersebut mengandung perintah tetapi ada indikasi yang memalingkanya kepada hukum boleh yaitu tidak semua orang wajib mencari rezeki dan tidak harus sesudah solat.
4)   Karohah
Karohah ialah suatu ketentuan yang mengandung larangan tetapi tidak pasti harus ditinggalkan. Seseorang yang melakukan perbuatan yang dituntut untuk ditingggalkan ini, tidak dikenakan hukuman.
Contonya dalam Surat Al Maidah ayat 101
Artinya: “Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang diterangkan, niscaya menyusahkan kamu.
Dalam ayat tersebut “Allah memakruhkan hal ini bagi kalian” , atau sesuatu itu dilarang oleh Allah, akan tetapi larangan itu juga bermakna makruh bukan haram.
5)   Tahrim
Tahrim adalah ketentuan secara pasti untuk tidak melakukan suatu perbuatan. Jika ada seseorang yang melakukanya maka dikenai hukuman. Contonya dalam Surat Al-Maidah ayat: 3
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi.
Dalam ayat tersebut terdapat larangan secara pasti, sehingga bedosa jika dilaksanakan oleh seorang mukallaf.
2.      Hukum Wadhy
a.       Pengertian
Hukum wadhy ialah hukum yang menghendaki meletakkan sesuatu sebagai suatu sebab yang lain atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau sebagai penghalang sesuatu itu. (Khallaf, 1996: 157)
Contoh yang menghendaki meletakkan sesuatu sebagai sebab sesuatu yang lain yaitu dalam Surat Al-Maidah: 6 yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit.”
Dalam surat tersebut menghendaki shalat sebagai sebab seseorang wajib wudhu sebelumnya,
b.      Macam- macam
1.      Sabab
a)      Pengertian
       Secara bahasa sabab artinya sesuatu yang memungkinkan dengannya sampai pada suatu tujuan. Secara istilah Imam Al Amidi mendefinisikan sabab merupakan sifat zhair yang dapat diukur dan ditunjukan oleh dalil sam’i (Al-quran dan sunah) bahwa keberadaanya sebagai pengenal bagi kaum syar’I. (Haroen, 1997: 259-260)
       Dari pengertian di atas dapat kita ketahui bahwa sebab dijadikan sebagai tanda keberadaan suatu hukum. Jika tidak ada sebab maka pertanda tidak ada hukum.
b)      Pembagian
     Menurut para ahli usul fiqh, sebab bisa dibagi dilihat dari berbagai segi, yaitu
1.      Dari segi objeknya, terbagi menjadi dua yaitu sebab al waqti dan sebab al maknawi.
2.      Dari segi kaitanya dengan kemampuan mukallaf terdiri atas sebab yang merupakan perbuatan mukallaf serta mampu dilakukan dan sebab yang bukan perbuatan mukallaf serta tidak mampu untuk dilakukan.
3.      Dari segi hukumnya, terbagi menjadi dua yaitu, sebab al masyru’ dan sebab khoiru al masyru’.
4.      Dari segi pengaruhnya terhadap hukum terbagi menjadi dua yaitu sebab yang berpengaruh terhadap hukum dan yang tidak berpengaruh terhadap hukum.
5.      Dari segi jenis musabbab terbagi atas dua macam yaitu, sebab bagi hukum taklifi dan sebab untuk menetapkan hak milik, melepaskan atau menghalalkanya.
6.      Dari segi hubungan sebab dan musabbab terbagi menjadi tiga yaitu, sabab al syar’i, sabab al aqli, dan sabab al ‘adl.
2.  Syarat
       Syarat menurut bahasa berarti melazimkan sesuatu. Menurut ‘urf syara’ berarti sesuatu keadaan atau pekerjaan karena ketiadaannya, menjadi tidak ada hukum masyrutnya. Menurut istilah syarat ialah sesuatu yang keberadaan suatu hukum tergantung pada keberadaan sesuatu itu, dan dari ketiadaan sesuatu itu diperoleh ketetapan ketiadaan hukum tersebut yaitu keberadaan secara syara’. Sebagai contoh suci menjadi syarat sah shalat, apabila tidak suci maka tidak sah shalatnya.
Syarat dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Syarat Hakiki ialah sesuatu pekerjaan yang disuruh mengerjakanya sebelum mengerjakan suruhan yang lain dan pekerjaan yang lain itu tidak diterima kalau tidak ada yang pertama itu. Contoh shalat tidak diterima jika tidak wudhu.
b.      Syarat Ja’li ialah segala yang dijadikan syarat oleh pembuatanya dengan perkataan jika, kalau, sekiranya. Contohnya saya suka menjual sepeda ini kepadamu, jika kamu memperbolehkan memakainya hari ini untuk pergi ke kantor.
3. Mani’ (Penghalang)
       Mani’ ialah sesuatu keadaan yang menghalangi terlaksanaanya suatu perintah atau tidak dilaksanakanya suatu hukum yang sudah ditetapkan. Sebagai contoh mani’ yang menghalangi sebab hukum ialah tentang hutang. Apabila seseorang mempunyai hutang sebanyak hartanya, maka tidaklah wajib dia membayar zakat harta tersebut.
Para ulama membagi mani’ menjadi lima macam:
a.    Mani’ yang menghalangi sahnya sebab.
Contohnya menjual orang yang merdeka, karena orang yang sah itu bukan harta, bukan barang yang dapat diperjualbelikan.
b.    Mani’ yang menghalangi sempurnanya sebab terhadap orang yang tidak melakukan akad dan menghalangi sebab bagi yang melakukan akad.
Contonya jika A menjual pada barang pada B tanpa setahu si B. Maka penjualan itu tidak sah jika tidak dibenarkan oleh si B karena ada mani’ yaitu menjual bukan haknya.
c.    Mani’ yang menghalangi berlakunya hukum
Contohnya khiyar syarat oleh si penjual. Si A menjual barang pada si B tetapi dengan syarat si B boleh berfikir selama tiga hari, jika dalam tiga hari ini berubah fikiran maka tidak jadi membelinya.
d.   Mani’ yang menghalangi sempurnanya hukum.
Contohnya dalam khiyar ru’yah. Khiyar ini tidak menghalangi memili barang, hanya saja milik itu belum sempurna sebelum melihat barang itu oleh pembeli walaupun sudah diterima.
e.    Mani’ yang menghalangi kelaziman hukum
Seperti khiyar ‘aib.  Temponya adalah tiga hari, pembeli boleh melakukan kekuasaan terhadap barang yang sudah dibelinya sebelum di cek baik atau buruknya, jika terjadi cacat maka boleh mengembalinya dengan perantara hakim atau atas kerelaan penjual.
4.  Azimah dan Rukhshah
       Azimah ialah hukum yang dituntut syara’ dan bersifat umum, tidak ditentukan berlakunya atas suatu golongan atau keadaan tertentu.  Contohnya ialah kewajiban menjalankan shalat lima waktu.
     Rukhsah ialah suatu hukum yang diatur oleh syara’ karena ada udzur (halangan) yang menyulitkan. Hukum rukhsah dikecualikan dari hukum azimah, yang umumnya berlaku selama ada udzur yang berat dan seperlunya saja, dan hukum rukhsah ini datang setelah hukum azimah. Contohnya dibolehkan mengqashar shalat wajib dari empat rakaat menjadi dua rakaat.
5. Sah dan Batal
     Sah mempunyai dua arti: (Muchtar, 1995: 37)
ð Melepaskan tanggung jawab dan menggugurkan kewajiban (qadla di dunia)
ð Memperoleh pahala atau ganjaran
Suatu amalan dapat dianggap sah jika sudah memenuhi rukun dan syarat suatu amalan itu.
     Batal mempunyai dua pengertian, yaitu:
ð Tidak mencukupi kewajiban yang dituntut mengerjakannya
ð Tidak mendapatkan pembalasan di hari akherat nanti.

B.  HAKIM
1.    Pengertian
Secara etimologi, hakim mempunyai dua pengertian yaitu:
ð  Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum.
ð  Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan dan menyingkapkan hukum
Dari definisi itu dapat dipahami bahwa “pembuat hukum“ dalam perspektif Islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia di atas bumi ini dan Dia pula yang menetapkan aturan - aturan bagi kehidupan manusia, baik hubungannya dengan kepentingan hidup di akhirat, baik aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah maupun hubungan manusia dengan sesamanya dan alam sekitarnya.
          Sebagaimana Firman Allah yang tercantum dalam:
1.      Surat Al An’am: 57
 ÈbÎ) ãNõ3ßÛø9$# žwÎ) ¬! ( Èà)tƒ ¨,ysø9$# ( uqèdur çŽöyz tû,Î#ÅÁ»xÿø9$# ÇÎÐÈ  
Artinya: “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik".
2.      Surat Al Maidah: 49
  Èbr&ur Nä3ôm$# NæhuZ÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# Ÿwur ôìÎ7®Ks? öNèduä!#uq÷dr&
Artinya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka…”
Mengenai hal ini, tentang kedudukan Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum dalam pandangan Islam tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat Islam.
2. Kemampuan Akal Mengetahui Syariat
Ada tiga pendapat yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh (Haroen, 1997: 289) antara lain:
     a. Ahlusunnah wal jamaah
Sebelum diangkatnya Rasul dan turunnya syariat, akal tidak mampu menetapkan hukum.
     b. Mu’tazilah
Akal manusia mampu menentukan hukum - hukum Allah tersebut sebelum datangnya syariat.
c.  Maturidiyah
Perbuatan atau perkataan yang dipandang baik atau buruk oleh akal tidak wajib dikerjakan dan orang yang mengerjakannya tidak akan mendapatkan imbalan semata - mata melalui akal.
         
C.  MAHKUM FIH
1.    Pengertian Mahkum Fih
Menurut ulama Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan Mahkum fih adalah obyek hukum yaitu perbuatan seorang mukalllaf yang terkait dengan perintah Allah dalam aturan agama islam, baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, tuntutan memilih suatu pekerjaan dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal. ( Stafe’i)
Contoh:
a)      Firman Allah dalam Surat Al Baqoroh: 43
و اقيمو االصلاة
Artinya: ”Dirikanlah Sholat”
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan mukallaf untuk  mengerjakan sholat atau kewajiban mendirikan sholat.
b)      Firman Allah dalam Surat Al Jumuah: 10
#sŒÎ*sù ÏMuŠÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãÏ±tFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.øŒ$#ur ©!$# #ZŽÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ  
Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.

Dalam ayat tersebut mengandung kebolehan mencari rezeki setelah shalat. Kebolehan ini berkaitan dengan perbuatan mukallaf yaitu ibahah sehingga mencari rezeki hukumnya mubah.
2.    Syarat –Syarat Mahkum Fih
Para ulama ushul mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu :
a.    Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuan dapat tangkap dengan jelas dan dapat dilaksanakan.
b.    Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. seseorang harus mengetahui  bahwa tuntutan itu dari Allah SWT. Sehingga melaksanakan berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan perintah  Allah semata.
c.    Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan, dengan catatan
·    Tidak boleh ada taklif terhadap sesuatu yang mustahil
·    Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di taklifkan untuk dan atas nama orang lain.
·    Tidak sah suatu tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia, seperti gembira, marah, takut, karena hal itu berada di luar kendali manusia.
·    Tercapaianya syarat taklif tersebut, seperti iman dalam masalah ibadah, suci dalam masalah sholat.

D.  MAHKUM ‘ALAIH
1.      Pengertian
        Secara etimologi mahkum ‘alaih ialah seseorang yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syara’, yang disebut dengan mukallaf. Sedangkan menurut istilah orang mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan laranganNya. (Haroen, 1997: 305)
        Dari pengertian di atas maka dapat kita ketahui bahwa perbuatan seorang mukallaf sangat terbatasi oleh adanya hukum Jika ia melaksanakan perintah Allah maka ia akan mendapatkan pahala dan berlaku pula sebaliknya yaitu jika ia melaksanakan larangan Allah maka ia akan mendapatkan dosa.
2.      Dasar Taklif
        Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa dasar taklif (pembebanan hukum) kepada seorang mukallaf yaitu berdasarkan akal dan pemahaman. Oleh karena itu, jika seseorang tersebut tidak tahu akan adanya hukum sesuatu, belum berakal seperti anak kecil, orang dalam keadaan tidak sadar (tidur, lupa, mabuk, gila) maka orang-orang tersebut tidak dikenai hukum.
Sabda Rasulullah SAW:
رفع القلم عن ثلاث : عن النائم حتى يستيقظ و عن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يفيق.
Artinya: Diangkatkan pembebanan hokum dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh. (H.R Al Bukhori, Abu Dawud, Al Tirmidzi, Al Nasa’I, Ibn Majah dan Al Daruquthni dari Aisyah dan Ali Ibn Abi Thalib)

3.      Syarat-Syarat Taklif
Syarat-syarat orang mukallaf terbagi menjadi dua bagian: (Bakry, 1996: 158-159)
a)      Kemapuan memahami Khitab Syar’i (tuntutan syara’)
Kemampuan mengetahui taklif hanya dapat dicapai jika ia sudah berakal. Indikasi konkret bahwa seseorang itu berakal atau belum ialah balighnya seseorang. Selanjutnya, kemampuan bahasa arab seorang mukallaf juga menjadi pertimbangan lain untuk pemberlakuan taklif.
b)      Ahli dan patut ditaklifi
Ahli dapat dikatakan orang yang cakap bertindak hukum dan pantas ditaklifi.
4.      Ahliyah
a)      Pengertian
Secara etimologi ahliyah berarti kecakapan menangani suatu urusan . Sedangkan secara terminologi ahliyah yaitu sifat yang dimilki seseorang, yanrg dijadikan ukuran oleh Syar’I untuk menentukan seseorang teah cakap dikenai tuntutan syara’.   
b)      Pembagian
·      Ahliyah ada’
ð  Sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif.
·      Ahliyah al wujub
ð  Sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak - hak yang menjadi haknya, tapi belum cakap untuk dibebani seluruh kewajiban.
c)      Halangan
Halangan terbagi menjadi dua ketegori yaitu: (Muchtar, 1995: 46-61)
1.   Halangan yang tak terduga
ð  Gila, setengah gila yakni ma’tuh, lupa, tidur, pingsan, sakit, haid dan nifas, mati.
2.   Halangan yang diusahakan
ð  Mabuk, berpura-pura atau bermain-main, safah[1], safar (bepergian), silap atau tidak sengaja, hutang, paksaan.










BAB III
PENUTUP

          Dari pembahasan diatas dapat kita lihat hukum islam ternyata sangatlah beraneka ragam ketentuannya. Tidak semua orang mampu memahami hukum islam itu sendiri sehingga perlu adanya kajian secara mendalam mengenai hukum islam. Hukum islam sangat erat kaitannya dengan perbuatan manusia dalam keseharian, sehingga hukum islam yang bersifat amaliyah khususnya, dapat berubah sesuai dengan keadaan.
          Perlu kita ketahui bahwa dengan adanya hukum yang ada dalam agama islam maka dapat dijadikan sebagai pembatas bagi kita agar tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah. Hal ini dikarenakan, segala hal yang dilarang olehNya pasti mempunyai arti kemadaratan ataupun bahaya bagi diri kita, sehingga Allah menciptakan hukum dalam islam ini karena Allah mencintai makhluk-makhluknya.


















/


[1] Safah yaitu kurang akal atau serampangan (sesuka hati) dalam urusan menggunakan harta .



DAFTAR PUSTAKA

Ali, Daud Mohammad. 1998. Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada.

Amrudin, Zen. 2009. Ushul Fiqh. Yogyakarta: Teras.
Bakry, Nazar. 1996. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada.
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqih I. Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu.
Muchtar, Kamal. 1995. Ushul Fiqih Jilid I. Jakarta: PT Dana Bhakti Wakaf.
Khalaf, Abdul Wahab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama.
Khalaf, Abdul Wahab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Toha Putra.
Khalaf, Abdul Wahab. 1996. Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh). Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.

Khalaf, Abdul Wahab. 2003. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amini.