Penyelenggaraan
Pendidikan Agama Islam
Di
Sekolah
Disusun dan diajukan untuk memenuhi tugas
terstruktur
Dosen
pengampu : Drs.Ahsan Hasbullah,M.Pd
Disusun oleh :
1.Anis Zulia
A’limatun N (102331115)
2.Alfiyan Naufari (102331118)
3. Okti Fathi
Abdillah (102331102)
4. Titik
Permatasari (102331124)
5. Zian Febriana (102331130)
6. Ayu Lathifah (102331131)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PURWOKERTO
2012
PENDAHULUAN
Kemajuan tekhnologi dan perkembangan zaman membawa dampak
yang sangat besar bagi kehidupan, baik dampak positif maupun dampak negatif.
Perkembangan tekhnologi sangat mempengaruhi pendidikan anak. Jiwa anak-anak
mempunyai kecenderungan untuk selalu mencoba hal-hal baru, tidak sabar dan
selalu ingin menampakkan egonya.
Dalam konteks pendidikan, Islam menempatkan posisi anak
dalam posisi yang sangat penting. Orang tua harus memperhatikan pendidikan
keagamaan bagi anak. Nabi Muhammad sebagai guru terbesar umat Islam juga telah
mengingatkan bahwa siapa yang tidak menyayangi anak, maka bukan termasuk
golongannya. Oleh karena itu, sebagai orang tua harus selalu memantau
perkembangan pendidikan agama anak.
Jika orang tua tidak memperhatikan itu, maka
dikhawatirkan akan timbul perilaku negatif yang tumbuh pada jiwa anak, misalnya
pergaulan bebas, tawuran antar siswa, dan hal-hal negatif lainnya. Dan jika
perilaku negatif itu sudah tumbuh dan meresahkan masyarakat sekitar maka yang
menjadi sasaran utama untuk disalahkan adalah guru agama Islam. Masyarakat
memberikan alasan bahwa pendidikan agama Islam telah gagal dan tidak berhasil.
Namun sebagai penerus generasi bangsa, kita tidak
seharusnya ikut menyalahkan guru agama Islam. Namun kita harus menanggapi
permasalahan yang ada serta menyadari bahwa tanggung jawab mengahadapi
permasalahan pelajar dan pendidikan agama Islam, tidak hanya pada guru PAI
saja, namun semua aparat sekolah, lingkungan, dan keluarga harus ikut
bertanggung jawab.
Oleh karena itu, perlu dirumuskan strategi
penyelenggaraan pendidikan agama Islam di sekolah yang dapat mensiasati
tantangan atau hal-hal yang menjadi kendala dalam penyelenggaraan Pendidikan
Agama Islam.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pendidikan Agama Islam.
Di dalam UUSPN No. 2/1989 pasal 39 ayat (2) ditegaskan
bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat,
antara lain Pendidikan agama. Dan Pendidikan Agama merupakan usaha untuk
memperkuat iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa sesuai dengan agama
yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan dengan memperhatikan tuntunan
untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam
masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.
Di dalam GBPP
PAI di sekolah umum, dijelaskan bahwa pendidikan agama Islam adalah usaha sadar
untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan
agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan dengan
memperhatikan tuntunan untuk menghormati
agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam asyarakat untuk
mewujudkan persatuan nasional[1].
PAI dibakukan
sebagai nama kegiatan mendidik agama Islam, yakni upaya mendidik agama Islam
atau ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi pandangan dan sikap hidup
seseorang[2].
Agama dalam kehidupan masyarakat majemuk
dapat berperan sebagai factor pemersatu, dan dapat pula berperan sebagai factor
pemecah. Dimensi-dimensi ajaran agama baik yang vertical maupaun horizontal,
semuanya harus termuat dan tercakup dalam pengertian pendidikan agama, untuk
tidak hanya sekedar membentuk kualitas dan keshalehan individu semata, tetapi
juga sekaligus kualitas dan keshalehan social, serta keshalehan terhadap alam
semesta.
B. Tujuan, Ruang lingkup dan fungsi
Pendidikan Agama Islam.
Secara umum
tujuan Pendidikan Agama Islam bertujuan untuk meningkatakan keimanan,
pemahaman, penghayatan, dan pengalaman, peserta didik tentang agama Islam,
sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada Alloh Swt,
serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Menurut Naquib
al Attas, tujuan pendidikan islam harus diambil dari pandangan hidup (philosohy
of life). Jika islam adalah pandangan hidup mak tujuannya adalah membentuk
manisia sempurna (insan kamil).[3]
Sedangkan
tujuan pembelajaran pendidikan agama Islam menurut GBPP kurikulum 1999 adalah
agar siswa memahami, menghayati, meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam
sehingga menjadi manusia muslim yang beriman, bertawa kepada Alloh Swt dan
berakhlak mulia. Rumusan tujuan PAI ini mengandung pengertian bahwa proses
pendidikan agama Islam yang dilalui dan dialami oleh siswa disekolah dimulai
dari tahapan kognisi, yakni pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap ajaran dan
nilai yang terkandung dalan ajaran Islam. Dan tahapan afeksi yakni terjadinya
proses internalisasi ajaran dan nilai agama kedalam diri siswa, dalam arti
menghayati dan meyakininya. Psikomotorik
diharapkan siswa dapat tergerak untuk mengamalkan dan menaati ajaran Islam yang
telah diinternalisasikan dalam dirinya.
Untuk
mencapai tujuan tersebut maka ruang lingkup materi PAI (kurukulum 1994) pada
dasarnya mencakup tujuh unsure pokok yaitu:
1. Al-Quran
Hadis
2. Keimanan
3. Syariah
4. Ibadah
5. Muamalah
6. Akhlak
7. Tarikh
(sejarah Islam).
Ruang
lingkup tersebut disempurnakan kembali pada kurikulum 1999, dengan penjabaran
indikator-indikator keberhasilannya sebagai berikut:
1. Pada
jenjang pendidikan dasar, siswa diharapkan:
a. Siswa
mampu membaca, menulis, dan memahami ayat-ayat pilihan.
b. Siswa
mengetahui, memahami. Dan meyakini unsur-unsur keimanan.
c. Siswa
mengetahui sejarah Nabi Muhammad Saw dan perkembangan agama Islam
d. Siswa
memahami fiqih ibadah, muamalah, jinayah
e. Siswa
dapat berbudi pekerti luhur atau berakhlak mulia.
2. Pada
jenjang pendidikan menengah, siswa diharapakan:
a. Siswa
mampu membaca Al-Quran, memahami, dan menghayati ayat-ayat pilihan.
b. Siswa
dapat berbudi luhur dan berakhlak mulia
c. Siswa
memiliki pemahaman yang luas dan mendalam fikih Islam
d. Siswa
terbiasa melaksanakan ibadah dalam kehidupan sehari-hari
e. Siswa
mampu menyampaikan khotbah atau ceramah tentang agama Islam
f. Siswa
memahami dan mengambil manfaat tarikh Islam.
Selain
tujuan dan manfaat yang suda dijelaskan di atas, maka fungsi pendidikan islam
sebagai berikut:
1. Mengembangkan
pengetahuan teoritis, praktis dan fungsional bagi peserta didik.
2. Menumbuh
kembangkan kretifitas, potensi-potensi atau fitrah peserta didik.
3. Meningkatkan
kualitas akhlak dan kepribadian, atau menumbuhkembangkan nilai-nilai insani dan
nilai ilahi.
4. Menyiapkan
tenaga kerja yang produktif.
5. Membangun
peradaban yang berkualitas (sesuai dengan nilai-nilai islam) di masa depan.
6. Mewariskan
nilai-nilai ilahi dan nilai-nilai insani kepada peserta didik.[4]
C.
Pentingnya
pengembangan pendidikan Agama Islam
Istilah
pengembangan dapat bermakna kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif bagaimana menjadikan pendidikan agama islam
yang hanya dua atau tiga jam pelajaran itu dapat lebih meluas dan merata
pengaruhnya baik di dalam maupun di luar sekolah. Secara kualitatif bagaimana
menjadikan pendidikan agama islam lebih baik, bermutu dan lebih maju sejalan
dengan ide-ide dasar atau nilai-nilai islam itu sendiri yang seharusnya selalu
berada di depan dalam merespons dan mengantisipasi berbagai tantangan hidup dan
kehidupan.
Perlunya
pendidikan agama islam dikembangkan menjadi budaya sekolah, yaitu:
1. Pancasila
sebai falsafah negara atau bangsa Indonesia mendudukan sila pertama “ketuhanan
Yang Maha Esa” sebagai core atau
inti yang mewarnai dan menjiwai
sila-sila berikutnya.
2. Di
dalam UU No. 20/2003 tentang sisdiknas Pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang di perlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
3. Orang
tua memiliki prerogatif untuk memilih sekolah bagi anak-anaknya. Sekolah yang
berkualitas semakin dicari, dan yang mutunya rendah akan di tinggalkan.
4. Penyelenggaraan
pendidikan di sekolah (negeri atau swasta) tidak lepas dari nilai-nilai. Norma
perilaku, keyakinan, maupun budaya. Apalagi sekolah yang di selenggarakan oleh
yayasan islam.
5. Selama
ini banyak orng mempersepsi prestasi sekolah hanya dilihat dari dimensi yang
tampak, bisa di ukur dan dikuantifikasikan, terutama perolehan nilai UNAS dan
kondisi fisik sekolah.
6. Budaya
sekolah mempunyai dampak yang kuat terhadap prestasi kerja[5]
D.
Tantangan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah.
Pada awal sains
modern pernah terjadi perpecahan antara kaum agamawan dan ilmuan, yang ditandi
dengan sikap keras kaum Eropa, metode yang dikembangkan oleh mereka adalah
mengandalkan kemampuan inderawai (empiris) seehingga kajian yang bersifat
noninderawi (agamis) dianggap tidak ilmiah. Di Indonesia terjadi hubungan yang
sebaliknya yaitu himbauan agar ilmuwan dan agamawan saling mendukung anatara
satu sama lain. Keserasian antara ilmu pengetahuan dan agama dalam arti
keyakinan beragama diharapkan mampu memperkuat upaya penguasaan dan pengembangan
iptek, dan sebaliknya, pengembangan iptek memperkuat keyakinan beragama.
Sedangkan agamalah yang bias menuntun manusia untuk memilih mana ynag patut
bisa benar dan baik untuk bisa dijalankan dan dikembangkan. Dapat diketahui
bahwa tantangan pendidikan agama Isalm pada dasrnya dapat dikelompokan menjadi
kedalam dua macam yaitu tantangan internal dan tantangan eksternal dari
pendidikan agama Islam.
Tantangan
internal menyangkut sisi pendidikan agama sebagai progaram pendidikan baik dari segi orientasi
pendidikan agama Islam yang kurang tepat, sempitnya pemahaman terhadap esense
ajaran agama Islam, perencanaan dan penyusunan materi yang kurang tepat, maupun
mserta pelaksanaan dan penyelenggaraanyapendidikan agama Islam itu sendiri yang
sebagianyya masih bersikap eksklusif dan belum mampu berinteraksi dan
bersinkrinisasi dengan yang lainnya. Sedangakan tantangan eksternal meliputi
berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdampak pada munculnya
scientific critizism terhadap penjelasan ajaran agama yang bersifat
konservatif, tradisional, tekstual, era globalisasi dibidang infprmasi serta
perubahan social ekonomi, serta kemajemukan masyarakat beragama yang masih
belum siap untuk berbeda paham dan justru bersikap apalogis, fanatic dan absolutis.
E.
Strategi
Pengembangan PAI sebagai Budaya Sekolah
Dalam pengembangan pendidikan Islam perlu
mempertimbangkan bebrapa persoalan. Dalam tata hubungan global diberlakukan
prinsip interdependensi di antara negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia,
tetapi komitmen politik bebas aktif mulai canggung, kesatuan dan persatuan
bangsa (budaya dan sosial) mengalami keretakan-keretakan.
Oleh karena itu, pendidikan agama Islam di sekolah atau
di masyarakat perlu diorientasikan pada[6]:
1. pengembangan SDM
2. ke arah pendidikan agama Islam multikulturalis
3. mempertegas misi liutammima makarimal akhlaq
4. melakukan spiritualisasi watak kebangsaan
Pengembangan PAI tidak bisa dilepaskan dari peran para
penggerak kehidupan keagamaan di sekolah tersebut yang berusaha melakukan aksi
pembudayaan agama di sekolah. Meminjam teori Philip Koler (1978) bahwa terdapat
5 unsur dalam melakukan gerakan perubahan di masyarakat, termasuk masyarakat
sekolah, yang disingkat dengan 5 C[7],
yaitu:
1. Causes, sebab-sebab yang bisa menimbulkan perubahan.
2. Change Agency, pelaku perubahan atau tokoh-tokoh yang
berada di balik aksi perubahan dan pengembangan, yaitu leaders dan supporters.
3. Change Target (sasaran perubahan), seperti individu,
kelompok atau lembaga yang ditunjuk sebagai sasaran upaya pengembangan dan
perubahan.
4. Channel (saluran), yakni media untuk menyampaikan
pengaruh dan respons dari setiap pelaku pengembangan ke sasaran pengembangan
dan perubahan.
5. Change Strategy, yaitu tekni utama mempengaruhi yang
diterapkan oleh pelaku pengembangan dan perubahan untuk menimbulkan dampak pada
sasaran-sasaran yang dituju.
Strategi pengembangan PAI sebagai budaya sekolah, meminjam
teori koentjoroningrat (1974) tentang
wujud kebudayaan, meniscayakan adanya upaya pengembangan dalam 3 tataran, yaitu
tataran nilai yang dianut, tataran praktik keseharian, dan tataran
simbol-simbol budaya.
Pada tataran nilai yang dianut, perlu dirumuskan secara
bersama nilai-nilai agama yang disepakati dan perlu dikembangkan dalam di
sekolah, untuk selanjutnay dibangun komitmen dan loyalitas bersama diantara
semua warga sekolah terhadap nilai-nilai yang disepakati. Nilai-nilai tersebut
ada yang bersifat vertikal dan ada yang horizontal.
Dalam tataran praktik keseharian, nilai-nilai keagamaan
yang telah disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku
keseharian warga sekolah. Dalam tataran simbol budaya, pengembangan yang perlu
dilakukan adalah mengganti simbol-simbol budaya yang kurang sejalan dengan
ajaran dan nilai-nilai agama dengan simbol budaya yang agamis. Perubahan
simboil dapat dilakukan dengan mengubah model berpakaian dengan prinsip menutup
aurat.
Didalam ajaran agama terdapat nilai-nilai yang bersifat
vertikal yang dapat diwujudkan dalam bentuk kegiatan shalat berjama’ah, puasa
senen kamis, do’a bersama, dll.
Selain itu, ada juga nilai-nilai yang berupa hubungan
manusia atau warga sekolah dengan selamanya (habl min an-nas) dapat
dimanifestasikan dengan cara mendudukkan sekolah sebagai institusi sosial yang
jika dilihat dari struktur hubungan antar manusianya dapat diklasifikasikan ke
dalam 3 hubungan,[8] yaitu:
1. Hubungan atasan bawahan
Perlunya
kepatuhan dan loyalitas para guru dan tenaga kependidikan terhadap atasannya.
Karena itu, bilamana terjadi pelanggaran terhadap aturan yang disepakati
bersama, maka harus diberi tindakan yang tegas selaras dengan tingkat
pelanggarannya.
2. Hubungan profesional
Perlunya
penciptaan hubungan yang rasional, kritis dinamis antar sesama guru, guru dan
pimpinannya dan/atau peserta didik dengan guru dan pimpinannya untuk saling
berdiskusi, ssaling berkeinginan untuk maju serta meningkatkan kualitas
sekolah. Sehingga lebih banyak berorientasi pada peningkatan kualitas akademik
dan nonakademik di sekolahnya.
3. Hubungan sederajat atau sukarela
Hubungan
manusiawi antar teman sejawat, untuk saling membantu, mendo’akan, mengingatkan
dan melengkapi antara satu dengan yang lainnya.
Sedangkan
nilai-nilai yang menyangkut hubungan mereka dengan lingkungan atau alam
sekitarnya dapat diwujudkan dalam bentuk membangun suasana atau iklim yang
komitmen dalam menjaga dan memelihara berbagai fasilitas atau sarana dan
prasarana yang dimiliki oleh sekolah, serta menjaga dan memelihara kelestarian,
kebersihan dan keindahan lingkungan hidup di sekolah dan tenggung jawab dalam
masalah tersebut menjadi tangung jawab seluruh warga sekolah.
F.
Profil
GPAI Dalam Menghadapi Tantangan Pendidikan Agama Isalm.
Dalam kerangka pendidikan secara umum dapat dikatakan
bahwa perilaku guru dipandang sebagai sumber pengaruh sedangkan tingkah laku
belajar sebagai efek dari berbagai proses, interaksi, dan tingkah laku. Secara
ideal GPAI dapat mencotoh perilaku Nabi Muhammad Saw, karena beliaulah
satu-satunya pendidik yang berhasil. Guru pendidikan agama Islam dikatakan
berhasil apabila menjalankan tugas kependidikannya bilamana dia memiliki
kompntensi personal religius, dan kompetensi professional religius.
Dalam UU Nomer 2
tahun 1989, tentang system pendidikan Nasional ditegaskan bahwa untuk dapat
diangkat sebagai gury atau pendidik, maka yang bersangkutan harusnberiman dan
bertakwa terhadap Tuhan Yang Mahaesa, berwawasan pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, serta memiliki kualikasi sebagai pengajar. Dan untuk menjadi guru
agama, maka harus beragama sesuai dengan peserta didik yang bersangkutan, yakni
beragama Islam. Dengan memperhitungkan berbagai tantangan pendidikan agama
Islam, baik internal maupun eksternal maka perlunya guru agama untuk:
1. Memiliki
semangat jihad dalam menjalankan profesinya sebagai guru agama
2. Menguasai
ilmu agama dan wawasan pengembangannya sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta perubahan social cultural yang mengitainya.
3. Menguasai
ketrampilan untuk membangkitkan minat siswa kepada pemahaman ajaran agama dan pengembangan
wawasannya.
4. Siap
mengembangkanprofesinya yang berkesinambungan, agar ilmunya atau keahliannya
tidak cepat out of date.
KESIMPULAN
PAI
dibakukan sebagai nama kegiatan mendidik agama Islam, yakni upaya mendidik
agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi pandangan dan
sikap hidup seseorang.
Secara
umum tujuan Pendidikan Agama Islam bertujuan untuk meningkatakan keimanan,
pemahaman, penghayatan, dan pengalaman, peserta didik tentang agama Islam,
sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada Alloh Swt,
serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Pengembangan PAI tidak bisa dilepaskan dari peran para
penggerak kehidupan keagamaan di sekolah tersebut yang berusaha melakukan aksi
pembudayaan agama di sekolah.
Guru
pendidikan agama Islam dikatakan berhasil apabila menjalankan tugas
kependidikannya bilamana dia memiliki kompntensi personal religius, dan
kompetensi professional religius
Daftar
Pustaka
Muhaimin.2001. Nuansa Baru Pendidikan Islam, (Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada)
Muhaimin. 2001. Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung:PT Remaja rodaskaraya).
Roqib,Moh.2009. Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta:LKiS),
[1]
Drs. Muhaimin, M.A, Paradigma Pendidikan
Islam, (Bandung:PT Remaja rodaskaraya,2001), Hal 75
[2]
Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A, Nuansa Baru
Pendidikan Islam, (PT. RajaGrafindo Persada:Jakarta, 2006),, Hal 5
[3]
Dr.Moh.Roqib,M.Ag, Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta:LKiS,2009), Hlm.27.
[5]
Ibid 133
[6]
Ibid, hal 155
[7]
Ibid.
[8]
Ibid, hal. 159
nomer 5 - 8 itu tulisanya Ibid, kaalu boleh tau merujuk nya kepada buku nomer berapa ya ??? fast respon please !!!!!
BalasHapus