PONDOK PESANTREN SEBAGAI SEBUAH
SISTEM PENDIDIKAN ISLAM
Disusun dan Diajukan Guna Mamenuhi Tugas
Terstruktur
Mata Kuliah : Kapita Selekta Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Drs. Ahsan Hasbulah, M.Pd.
Disusun Oleh Kelompok 5:
1. Hayatus
Sa’adah (102331092)
2. Amanatun (102331094)
3. Mei
Triana Putri (102331098)
4. Lutfiana
Laela (102331110)
5. Muttamimatul
Khikmah (102331114)
6. Muhammad
Ali Al-Azif (102331132)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PURWOKERTO
2012
Pendahuluan
Sebagai basis pendidikan Islam, pondok
pesantren memang bisa dikatakan sebagai tempat strategis dalam melahirkan
ulama-ulama, Kiyai, bahkan tokoh-tokoh besar yang memiliki pemahaman tinggi
terhadap agama Islam. Disamping itu, pondok pesantren juga lebih menarik minat
khususnya orang-orang desa karena biayanya yang lebih murah daripada sekolah
formal. Namun dalam perkembangannya, Pondok Pesantren kini bukan hanya diminati
masyarakat desa, namun keberbagai lapisan masyarakat karena terobosan-terobosan
yang ada di Pondok Pesantren tersebut.
Jika masa dulu pondok pesantren identik
dengan pendidikan bagi generasi muda pedesaan dan pinggiran kota, namun pondok
pesantren sekarang pemuda kota pun bisa belajar di Pesantren. Selain itu, Pondok
Pesantren sekarang juga sudah mengalami kemajuan yang pesat, terbukti dengan
banyaknya pondok pesantren yang berlabelkan Pondok Pesantren Modern. Sehingga
lembaga ini berhasil menarik minat berbagai lapisan masyarakat yang semakin
banyak dan otomatis Pondok Pesantren sekarang semakin besar peranannya dalam
mengembangkan Pendidikan Agama Islam.
Dalam makalah ini akan mengulas beberapa
hal yang berkaitan dengan Pondok Pesantren sebagai sebuah sistem pendidikan,
yaitu:
1. Sejarah
pondok pesantren sebagai sistem pendidikan
2. Sistem
pendidikan di pesantren dulu dan sekarang
3. Prinsip-prinsip
pendidikan pesantren
4. Peran
pesantren dalam pendidikan islam
Pembahasan
A. Sejarah
Pesantren Sebagai Sistem Pendidikan
Pesantren
merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai
pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari. Pesantren sendiri menurut pengertian
dasarnya adalah tempat belajar para santri. Sedangkan pondok berarti rumah atau
tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Disamping itu kata “pondok”
mungkin juga berasal dari bahasa Arab “funduq” yang berarti hotel atau
asrama.
Pondok
pesantren yang merupakan “bapak” dari pendidikan Islam di Indonesia, didirikan
karena adanya tuntutan dan kebutuhan zaman, hal ini bisa dilihat dari
perjalanan historisnya, bahwa sesungguhnya pesantren dilahirkan atas kesadaran
kewajiban dakwah-dakwah Islamiah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran
Islam, sekaligus mencetak kader-kader ulama dan da’i.
Sebagai
suatu lembaga pendidikan Islam, pesantren dari sudut historis cultural dapat
dikatakan sebagai “training center” yang otomatis menjadi “cultural central”
Islam yang disalahkan atau dilembagakan oleh masyarakat, setidak-tidaknya oleh
masyarakat Islam sendiri yang secara de facto tidak dapat diabaikan oleh
pemerintah.
Tentang
kehadiran pesantren secara pasti di Indonesia pertama kalinya, di mana dan
siapa pendirinya, tidak dapat diperoleh keterangan yang pasti. Berdasarkan
hasil pendataan yang dilaksanakan oleh Departemen Agama pada tahun 1984-1985
diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada tahun 1062 di
Pamekasan Madura, dengan nama Pesantren Jan Tamps II. Akan tetapi hal ini juga
diragukan, karena tentunya ada Pesantren Jan Tampees I yang lebih tua. Walaupun
demikian, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang
peran sertanya tidak diragukan lagi, adalah sangat besar bagi perkembangan
Islam di Nusantara.[1]
Pada
masa penjajahan kolonial Belanda yaitu sekitar abad ke-18an, nama pesantren
sebagai lembaga pendidikan rakyat terasa sangat berbobot terutama dalam bidang
penyiaran agama Islam. Pada masa penjajahan ini pondok pesantren menjadi
satu-satunya lembaga pendidikan Islam yang menggembleng kader-kader umat yang
tangguh dan gigih mengembangkan agama serta menentang penjajahan berkat dari
jiwa Islam mereka. Kelahiran pesantren baru, selalu diawali dengan cerita
perang nilai antara pesantren yang akan berdiri dengan masyarakat sekitarnya,
dan diakhiri dengan kemenangan pihak pesantren, sehingga pesantren dapat
diterima untuk hidup di masyarakat, dan kemudian menjadi panutan bagi
masyarakat sekitarnya dalam bidang kehidupan moral. Bahkan dengan kehadiran
pesantren dengan jumlah santri yang banyak dan datang dari berbagai masyarakat
lain yang jauh, maka terjadilah semacam kontak budaya antara berbagai suku dan
masyarakat sekitar. Dari segi cultural para ulama Islam berusaha menghindarkan
tradisi serta ajaran agama Islam dari pengaruh kebudayaan Barat. Segala sesuatu
yang berbau Barat secara apriori ditolak oleh mereka, termasuk system
pendidikan.[2]
Kehidupan ekonomi masyarakat sekitar menjadi semakin ramai, dan tentu saja akan
bertambah maju.
Kehadiran
pesantren ditengah-tengah masyarakat tidak hanya sebagai lembaga pendidikan,
tetapi juga sebagai lembaga penyiaran agama dan sosial keagamaan. Dengan
sifatnya yang flexible sejak awal kehadirannya, pesantren ternyata mampu
mengadaptasikan diri dengan masyarakat serta memenuhi tuntutan masyarakat.
Walaupun
pada masa penjajahan, pondok pesantren mendapat tekanan dari pemerintah Kolonial
Belanda, pondok pesantren masih bertahan terus dan tetap tegak berdiri walaupun
sebagian besar berada di daerah pedesaan. Peranan mendidik dan mencerdaskan
kehidupan bangsa tetap diembannya. Telah banyak kader-kader bangsa dan
tokoh-tokoh perjuangan nasional dilahirkan oleh pesantren. Bahkan pada
saat-saat perjuangan kemerdekaan, banyak tokoh pejuang dan pahlawan-pahlawan
kemerdekaan yang berasal dari pesantren.
Dalam
perkembangannya, pondok pesantren memang sangat pesat, pada zaman Belanda saja
jumlah pesantren di Indonesia besar kecil tercatat sebanyak 20.000 buah. Perkembangan
selanjutnya mengalami pasang surut, ada daerah tertentu yang membuka pesantren
baru, ada pula pesantren di daerah lain yang bubar karena tidak begitu terawat
lagi. Tetapi perkembangan yang paling akhir, dunia pesantren menampakkan trend
lain. Disamping masih ada yang mempertahankan system tradisionalnya, sebagian
pesantren telah membuka system madrasah, sekolah umum, bahkan ada diantaranya
yang membuka semacam lembaga pendidikan kejuruan seperti bidang pertanian,
peternakan, pertukangan, teknik dan sebagainya.[3]
B. Sistem
Pendidikan di Pondok Pesantren
Sistem pondok pesantren selalu diselenggarakan dalam
bentuk asrama atau komplek asrama dimana santri mendapatkan pendidikan dalam
suatu situasi lingkungan sosial keagamaan yang kuat dalam ilmu pengetahuan yang
dilengkapi pula dengan atau tanpa ilmu pengetahuan umum. Dalam perkembangan
selanjutnya, pondok pesantren disamping memberikan pelajaran ilmu agama, juga
ilmu pengetahuan umum dengan system madrasah atau sekolah. Dari sudut
administrasi pendidikan pondok pesantren dapat dibedakan dalam empat kategori
berikut ini:
1. Pondok
pesantren dengan system pendidikan yang lama pada umumnya terdapat jauh di luar
kota, hanya memberikan pengajian.
2. Pondok
pesantren modern dengan sistem pendidikan klasikal berdasarkan atas kurikulum
yang tersusun baik, termasuk pendidikan skill.
3. Pondok
pesantren dengan kombinasi disamping memberikan pelajaran dengan system
pengajian, juga dengan sistem madrasah yang dilengkapi dengan pengetahuan umum.
4. Pondok
pesantren yang tidak lebih baik dari asrama pelajar daripada pondok yang
semestinya.[4]
Pondok pesantren pada masa lalu, pada awal tahun
2001 pemerintah menyadari bahwa potensi pesantren perlu dioptimalkan yaitu
untuk menyantuni kebutuhan pendidikan bagi generasi muda pedesaan dan pinggiran
kota. Jumlah lembaga pendidikan psantren di seluruh Indonesia terus bertambah
dari tahun ke tahun. Dengan perkembangan pesantren yang cepat tersebut
ditunjang oleh keluarnya Undang-Undang Sistem Pndidikan No. 2 Tahun 1989 yang
memberikan legalitas yang sama dengan sekolah-sekolah negeri tingkat dasar dan
menengah terhadap madrasah-madrasah tingkat dasar dan menengah yang
dikembangkan di Pesantren.[5]
Jumlah lembaga pesantren terus bertambah yang disebabkan karena lembaga
pendidikan inilah yang dengan cepat dapat memberikan santunan pendidikan bagi
generasai muda pedesaan yang memerlukan pendidikan tingkat menengah dan tinggi.
Pondok pesantren pada masa sekarang, dalam
penyelenggaraan sistem pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren, dapat digolongkan
ke dalam tiga bentuk yaitu:
a. Pondok
pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, yang pada
umumnya diberikan dengan cara nonklasikal dan para santri biasanya tinggal
dalam pondok atau asrama dalam pesantren tersebut.
b. Pesantren
adalah lembaga pendidikan dan pengajaran
agama Islam, yang para santrinya tidak disediakan pondokan di komplek
pesantren, namun tinggal tersebar di sekitar penjuru desa sekeliling pesantren
tersebut. Dimana cara dan metode pendidikan dan pengajaran agama Islam
diberikan dngan sistem weton, yaitu para santri datang berduyun-duyun pada
waktu tertentu.
c. Pondok
pesantren dewasa ini merupakan lembaga gabungan antara sistem pondok dan
pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan sistem bandungan,
sorogan, ataupun wetonan, yang bagi para santrinya disediakan pondokan yang
biasa disebut dengan Pondok Pesantren Modern yang memenuhi kriteria pendidikan
nonformal serta penyelenggaraan pendidikan formal baik madrasah maupun sekolah
umum dalam berbagai tingkatan.[6]
C. Prinsip-Prinsip
Pendidikan Pesantren
Dalam proses pembelajaran di lembaga pendidikan
Pondok Pesantren prinsip-prinsip umum belajar dan motivasi perlu ditetapkan,
seperti:
1. Prinsip
kebermaknaan, menghendaki bahwa anak didik akan termotivasi untuk mempelajari
hal-hal yang bermakna bagi dirinya, sehingga perlu menghubungkan pelajaran yang
diberikan dengan minat dan nilai-nilai kehidupan anak baik sedang ataupun yang
akan datang.
2. Prinsip
prasyarat, menuntut pendidik untuk menyadari bahwa anak didik akan tergerak
mempelajari hal-hal baru apabila mempunyai semua prasyaratantara lain dengan
mengaitkan pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki oleh pendidik.
3. Prinsip
memberi model, menghendaki agar pendidik memberikan dalam proses belajar model
atau contoh yang dapat diamati dan ditiru oleh anak didik.
4. Prinsip
komunikasi terbuka, menuntut agar pendidik mendorong anak didik lebih banyak
mempelajari sesuatu dengan cara penyajian.
5. Prinsip
kebenaran, anak didik akan lebih banyak belajar apabila minat perhatiannya
tertarik oleh penyajian-penyajian yang relatif baru.
6. Prinsip
praktik aktif, anak akan dapat belajar lebih baik apabila ia diikutsertakan
dalam praktik.
7. Prinsip
praktik terbuka, anak didik akan belaar lebih baik dan giat apabila pelajaran
praktik tersebut disusun dalam periode yang singkat yang didistribusikan dalam
jangka waktu tertentu.
8. Prinsip
mengurangi petunjuk, anak didik akan lebih baik dalam belajarnya apabila
instruksi atau petunjuk semakin dikurangi.
9. Prinsip
kondisi dan konsekuensi-konsekuensi yang menggembirakan, apabila
kondisi-kondisi belajar dibuat yang menyenangkan maka anak didik akan timbul
semangat lebih besar.[7]
Menurut Mastuhu, ada beberapa prinsip pada
pendidikan pesantren, yang prinsip-prinsip tersebut dapat digambarkan sebagai
cirri utama tujuan pendidikan pesantren, antara lain:
1. Memiliki
kebijaksanaan menurut ajaran Islam, anak didik dibantu supaya mampu memahami
makna hidup, keberadaan, peranan, serta tanggung jawabnya dalam kehidupan di
masyarakat.
2. Memiliki
kebebasan yang terpimpin, kebebasan yang terpimpin seperti dalam ajaran Islam
bahwa manusia bebas menetapkan aturan hidup tetapi dalam berbagai hal manusia
harus menerima apa saja aturan yang datang dari Tuhan.
3. Berkemampuan
mengatur diri sendiri, bahwa masing-masing pesantren mampu mengatur dirinya
sendiri, baik dalam mengatur kegiatan santrinya maupun dalam mengatur kurikulumnya
sendiri.
4. Memiliki
rasa kebersamaan yang tinggi, dalam pesantren berlaku prinsip bahwa dalam hal
kewajiban, individu harus menunaikan kewajiban lebih dahulu. Sedangkan dalam
hal hak, individu harus mendahulukan kepentingan orang lain sebelum
kepentingannya sendiri.
5. Menghormati
orang tua dan guru, tujuan ini dicapai melalui penegakan berbagai pranata di
Pesantren, seperti tidak membantah guru.
6. Cinta
kepada ilmu, orang-orang pesantren cenderung memandang ilmu sebagai sesuatu
yang suci dan tinggi.
7. Mandiri,
adanya metode sorogan yang individual memberikan pendidikan kemandirian, dengan
metode ini santri akan maju sesuai dengan kecerdasan dan keuletannya sendiri.
8. Kesederhanaan,
dalam pesantren sikap kesederhanaan yaitu sikap memandang sesuatu terutama
materi untuk digunakan secara wajar, proporsianal dan fungsional. Kesederhanaan
ini sesungguhnya merupakan realisasi ajaran Islam yang umumnya diajarkan oleh
para sufi.[8]
D. Peran
Pesantren dalam Pendidikan Islam
Pesantren
sebagai lembaga pendidikan Islam sampai sekarang eksistensinya masih diakui,
bahkan semakin memainkan perannya di tengah-tengah masyarakat dalam rangka
menyiapkan SDM yang handal dan berkualitas. System pondok pesantren yang
ditampilkan mempunyai keunikan dibandingkan dengan system yang diterapkan dalam
pendidikan pada umumnya, seperti:
1. Memakai
system tradisional yang mempunyai kebebasan penuh dibandingkan dengan sekolah
modern.
2. Kehidupan
di pesantren menampilkan semangat demokrasi
3. Para
santri dengan ketulusan hatinya masuk pesantren walaupun sebagian besar
pesantren tidak mengeluarkan ijazah.
4. System
pondok pesantren mengutamakan kesederhanaan, idealisme, persaudaraan,
persamaan, rasa percaya diri, dan keberanian hidup.
5. Alumni
pondok pesantren tidak ingin menduduki jabatan pemerintahan, sehingga mereka
hampir tidak dapat dikuasai oleh pemerintah.[9]
Menurut
Zamakhsyari Dhofier, harus ada sekurang-kurangnya lima elemen untuk dapat
disebut pesantren, yaitu ada pondok, masjid, kiai, santri dan pengajian kitab Islam
klasik. Menurutnya, pesantren yang santrinya kurang dari 1000 dan pengaruhnya
hanya pada tingkat kabupaten, disebut pesantren kecil, santri antara 1000-2000
dan pengaruhnya pada beberapa kabupaten disebutnya pesantren menengah, bila
santrinya lebih dari 2000 dan pengaruhnya tersebar pada tingkat beberapa
kabupaten dan propinsi dapat digolongkan pesantren besar.
Usaha untuk mengidentifikasi
pesantren dilakukan juga oleh Kafrawi, ia mencoba membagi pola pesantren
menjadi empat pola yaitu:
1. Pesantren
pola I ialah pesantren yang memiliki unit kegiatan dan elemen berupa masjid
atau rumahnya untuk mengaji, biasanya santri datang dari daerah sekitarnya, namun
pengajian telah diselenggarakan secara kontinyu dan sistematik.
2. Pesantren
pola II ialah sama dengan pola I ditambah adanya pondokan bagi santri.
3. Pesantren
pola III ialah sama dengan pola II ditambah adanya madrasah, jadi sudah ada sistem
klasikal.
4. Pesantren
pola IV ialah pesantren pola III ditambah adanya unit ketrampilan seperti
peternakan, kerajinan, koperasi, sawah, ladang, dan lain-lain.[10]
Menarik
juga klasifikasi yang diajukan oleh Wardi Bakhtiar (dan kawan-kawannya). Menurutnya,
dilihat dari sudut pengetahuan yang diajarkan, pesantren dibagi menjadi 2
macam,yaitu:
1. Pesantren
salafi, yaitu pesantren yang mengajarkan kitab-kitab Islam klasik.
2. Pesantren
khalafi, yaitu yang selain memberikan pengajaran kitab Islam klasik juga
membuka sistem sekolah umum di lingkungan dan dibawah tanggung jawab pesantren.
Menurut Horikoshi kekuatan kiai atau
ulama itu berakar pada kredibilitas moral, dan kemampuan mempertahankan pranata
sosial yang diinginkan. Kredibilitas moral itu, menurut pengamatan, dibina
antara lain dengan dukungan kealiman (pengetahuan agama, kemampuan membaca
kuning) keshalihan perilaku (termasuk ketaatan melakukan ibadah ritual), pelayanannya
kepada masyarakat muslim. Namun ada satu unsur lagi yang agaknya kurang
diperhatikan oleh para peneliti, yaitu adanya kemampuan-kemampuan suprarasional
yang dimiliki oleh para kiai. Kekuatan kiai dan ulama juga karena kemampuannya
menjaga pranata sosial. Pranata disini diartikan peraturan-peraturan, tradisi-tradisi
yang hidup dalam masyarakat.[11]
Pondok pesantren bukan hanya sebagai
tempat belajar, meleinkan merupakan tempat proses hidup itu sendiri dalam
bentuk umum. Santri umumnya memiliki kebebasan untuk mempelajari berbagai
kegiatan di pesantren, walaupun kebebasan ini masih dibatasi oleh kurangnya
fasilitas pendidikan yng memadai. Namun demikian, pengaturn pendidikan di
pondok pesantren mengandung fleksibelitas bagi perubahan dan perkembangan
system pendidikannya terutama dalam segi pendidikan non formal.[12]
Sebagai lembaga sosial tradisional,
pondok pesantren mempunyai pengaruh yang luas pada masyarakat sekitar, kegiatan
non formalnya seperti adanya kiprah pondok pesantren dalam derakan Keluarga
Berencana, pendidikan koperasi, kerjasama dengan pihak luar, serta dalam
pembangunan transmigrasi.
Penutup
Pondok
pesantren sebagai sebuah sistem pendidikan merupakan suatu pernyataan yang
memang semestinya di ungkapkan. Bahwa dalam peradaban Indonesia, pondok
pesantren secara berlanjut terus menerus dan mengalami perkembangan yang pesat.
Ini terbukti dengan adanya pondok pesantren dari dulu hingga sekarang, yang
tentunya mempunyai peranan yang penting.
Dalam
pendidikan, pondok pesantren masuk dalam sistem pendidikan yang perlu
diperhitungkan khususnya dalam mempelajari ilmu agama, dan juga tidak
ketinggalan dalam pengetahuan umumnya. Selain itu, berbagai kegiatan non formal
pun di dalam pondok pesantren dapat diikuti para santri untuk mengasah bakat
mereka. Disisi lain, pondok pesantren juga mulai menampakkan keberadaannya
sebagai lembaga pendidikan Islam yang mumpuni, dimana didalamnya didirikan
sekolah baik formal maupun non formal.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin,
Muzayyin. 2003. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara
Dhofier,
Zamakhsyari. 2009. Tradisi Pesantren (Memadu Modernitas untuk Kemajuan Bangsa)
jilid 1. Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press
Hasbullah.
1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Press
Tafsir,
Ahmad. 1992. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Zaini,
Wahid. 1994. Dunia Pemikiran Kaum Santri. Yogyakarta: LKPSM NU DIY
[1] Hasbullah, Kapita Selekta
Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1996, hlmn 39-41
[2] Muzayyin Arifin, Kapita
Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003, hlmn 229-230
[3] Hasbullah, Kapita Selekta
Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1996, hlmn 43
[4] Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam,
Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003, hlmn 232
[5] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren (Menadu Modernitas untuk Kemajuan Bangsa), Yogyakarta, 2009, hlmn
67
[6] Hasbullah, Kapita
Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1996, hlmn 45
[7] Muzayyin Arifin, Kapita
Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003, hlmn 251-253
[8] Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992, hlmn
201-202
[9] Hasbullah, Kapita
Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1996, hlmn 56
[10] Ahmad Tafsir…ibid hlmn 193
[11] …ibid hlmn 194-195
[12] Wahid Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri, Yogyakarta:
LKPSM NU DIY, 1994,hlmn
Tidak ada komentar:
Posting Komentar