AL
AHKAM
Makalah
Disusun Guna
Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah:
Ushu Fiqh
Dosen Pengampu
: H. Husnul Haq, Lc., MA.
Disusun oleh :
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PURWOKERTO
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
Dalam Islam terdapat sumber hukum yang
paling utama yaitu Al Quran. Islam merupakan suatu ajaran agama yang di
dalamnya terdapat hukum-hukum syara’ dan digunakan untuk mengatur umat islam
itu sendiri. Sebagai seorang muslim tentu saja ia harus mengikuti ketentuan - ketentuan
hukum yang ada. Allah SWT menciptakan hukum tersebut dengan tujuan untuk sebuah
kemashlahatan umatnya. Seperti dalam firman Allah SWT dalam QS Al Maidah: 6
yang artinya “Allah tidak hendak menyulitkan kamu”. Dalam ayat tersebut
menerangkan bahwa hukum - hukum didasarkan atas kemashlahatan dan berhubungan
dengan sebab, juga mengandung petunjuk bahwa hukum itu tergantung pada sebab dan
dasar pijakannya. Oleh karena itu, pemberlakuan hukum sangatlah kontekstual
terhadap keadaan yang ada tetapi mengikat setiap umatnya.
Sebagai umat islam, kita dituntut untuk
mengetahui tentang bagaimana hukum islam yang ada. Seluk beluk hukum
islam akan dikaji secara lebih mendetail dalam makalah ini. Penulis menyajikan
pembahasan seputar mengenai hukum yaitu hakim, hukum, perbuatan yang dikenai
hukum serta seesorang yang dikenai hukum.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. HUKUM TAKLIFI DAN WADHY
1.
Hukum Taklifi
a.
Pengertian
Hukum taklifi menurut Khalaf ialah hukum
yang menghendaki dilakukanya suatu pekerjaan oleh mukalaf, melarang mengerjakanya,
atau melakukan pilihan antara melakukan dan meningggalkanya.
Menurut Muchtar hukum taklifi ialah hukum
yang mengandung tuntunan (suruhan atau larangan).
Sedangkan Haroen mengemukakan bahwa hukum
taklifi ialah tuntutan Allah yang berkaitan dengan perintah untuk berbuat atau
untuk meningggalkan suatu perbuatan.
Dari pernyatan diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa hukum taklifi merupakan hukum bagi seorang mukallaf untuk
mengerjakan atau meninggalkan perintah Allah.
b.
Macam-macam
1)
Ijab
Ijab
adalah tuntutan secara pasti dari syar’i untuk dilakukan dan tidak boleh
ditinggalkan, karena barangsiapa yang meninggalkan maka akan dikenai hukuman.
Contohnya dalam QS Al Baqorah: 110
Îû NÎgÎ/qè=è% ÖÚz£D ãNèdy#tsù ª!$# $ZÊttB ( óOßgs9ur ë>#xtã 7OÏ9r& $yJÎ/ (#qçR%x. tbqç/Éõ3t ÇÊÉÈ
Artinya:
“Dalam hati mereka ada penyakit [23], lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi
mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.”
Yaitu
perintah Allah untuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Dalam ayat
tersebut menggunakan fiil amr yang menurut ahli fiqh itu merupakan suatu perintah
yang wajib dilaksanakan.
2)
Nadb
Nadb
adalah anjuran untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak pasti harus
dilakukan. Jika seseorang tidak melakukan anjuran tersebut maka tidak dikenai
hukuman. Misalnya dalam Surat Al-Baqarah: 282 yang artinya “Apabila kamu
berhutang dengan berjanji akan membayarnya pada ketika yang telah ditentukan,
maka tulislah hutang itu.”
Dalam
ayat tersebut terdapat perintah (wujub) menulis akan tetapi, terdapat indikasi yang
memalingkan perintah itu kepada nadb yang terdapat dalam lanjutan ayat
selanjutnya (Al Baqarah: 283) yang artinya:
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
maka hendaklah yang diercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya).
Tuntutan
wujub dalam ayat itu berubah menjadi nadb, dimana Allah menyatakan bahwa jika
ada sikap saling mempercayai maka penulisan hutang tidak terlalu penting.
3)
Ibahah
Ibahah
adalah ketentuan Allah yang mengandung pilihan antara melakukan dan
meninggalkannya.
Contohnya,
dalam Surat Al Jumuah ayat:10
Artinya: “Apabila telah menunaikan sembahyang, maka bertebarkanlah kamu
di muka bumi.
Dalam
surat tersebut mengandung perintah tetapi ada indikasi yang memalingkanya kepada
hukum boleh yaitu tidak semua orang wajib mencari rezeki dan tidak harus
sesudah solat.
4)
Karohah
Karohah
ialah suatu ketentuan yang mengandung larangan tetapi tidak pasti harus
ditinggalkan. Seseorang yang melakukan perbuatan yang dituntut untuk
ditingggalkan ini, tidak dikenakan hukuman.
Contonya
dalam Surat Al Maidah ayat 101
Artinya: “Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang
diterangkan, niscaya menyusahkan kamu.
Dalam
ayat tersebut “Allah memakruhkan hal ini bagi kalian” , atau sesuatu itu
dilarang oleh Allah, akan tetapi larangan itu juga bermakna makruh bukan haram.
5)
Tahrim
Tahrim
adalah ketentuan secara pasti untuk tidak melakukan suatu perbuatan. Jika ada
seseorang yang melakukanya maka dikenai hukuman. Contonya dalam Surat Al-Maidah
ayat: 3
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging
babi.
Dalam
ayat tersebut terdapat larangan secara pasti, sehingga bedosa jika dilaksanakan
oleh seorang mukallaf.
2.
Hukum Wadhy
a.
Pengertian
Hukum
wadhy ialah hukum yang menghendaki meletakkan sesuatu sebagai suatu sebab yang
lain atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau sebagai penghalang sesuatu
itu. (Khallaf, 1996: 157)
Contoh
yang menghendaki meletakkan sesuatu sebagai sebab sesuatu yang lain yaitu dalam
Surat Al-Maidah: 6 yang artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu
sakit.”
Dalam
surat tersebut menghendaki shalat sebagai sebab seseorang wajib wudhu sebelumnya,
b.
Macam- macam
1.
Sabab
a)
Pengertian
Secara bahasa sabab artinya
sesuatu yang memungkinkan dengannya sampai pada suatu tujuan. Secara istilah
Imam Al Amidi mendefinisikan sabab merupakan sifat zhair yang dapat diukur dan
ditunjukan oleh dalil sam’i (Al-quran dan sunah) bahwa keberadaanya sebagai
pengenal bagi kaum syar’I. (Haroen, 1997: 259-260)
Dari pengertian di atas
dapat kita ketahui bahwa sebab dijadikan sebagai tanda keberadaan suatu hukum.
Jika tidak ada sebab maka pertanda tidak ada hukum.
b)
Pembagian
Menurut para ahli usul fiqh, sebab bisa
dibagi dilihat dari berbagai segi, yaitu
1.
Dari segi
objeknya, terbagi menjadi dua yaitu sebab al waqti dan sebab
al maknawi.
2.
Dari segi
kaitanya dengan kemampuan mukallaf terdiri atas sebab yang merupakan perbuatan
mukallaf serta mampu dilakukan dan sebab yang bukan perbuatan mukallaf serta
tidak mampu untuk dilakukan.
3.
Dari segi
hukumnya, terbagi menjadi dua yaitu, sebab al masyru’ dan sebab khoiru al
masyru’.
4.
Dari segi
pengaruhnya terhadap hukum terbagi menjadi dua yaitu sebab yang berpengaruh
terhadap hukum dan yang tidak berpengaruh terhadap hukum.
5.
Dari segi jenis
musabbab terbagi atas dua macam yaitu, sebab bagi hukum taklifi dan sebab untuk
menetapkan hak milik, melepaskan atau menghalalkanya.
6.
Dari segi
hubungan sebab dan musabbab terbagi menjadi tiga yaitu, sabab al syar’i,
sabab al aqli, dan sabab al ‘adl.
2. Syarat
Syarat
menurut bahasa berarti melazimkan sesuatu. Menurut ‘urf syara’ berarti sesuatu
keadaan atau pekerjaan karena ketiadaannya, menjadi tidak ada hukum masyrutnya.
Menurut istilah syarat ialah sesuatu yang keberadaan suatu hukum tergantung
pada keberadaan sesuatu itu, dan dari ketiadaan sesuatu itu diperoleh ketetapan
ketiadaan hukum tersebut yaitu keberadaan secara syara’. Sebagai contoh suci
menjadi syarat sah shalat, apabila tidak suci maka tidak sah shalatnya.
Syarat dibagi menjadi dua, yaitu:
a.
Syarat Hakiki
ialah sesuatu pekerjaan yang disuruh mengerjakanya sebelum mengerjakan suruhan
yang lain dan pekerjaan yang lain itu tidak diterima kalau tidak ada yang
pertama itu. Contoh shalat tidak diterima jika tidak wudhu.
b.
Syarat Ja’li ialah
segala yang dijadikan syarat oleh pembuatanya dengan perkataan jika, kalau,
sekiranya. Contohnya saya suka menjual sepeda ini kepadamu, jika kamu
memperbolehkan memakainya hari ini untuk pergi ke kantor.
3. Mani’ (Penghalang)
Mani’
ialah sesuatu keadaan yang menghalangi terlaksanaanya suatu perintah atau tidak
dilaksanakanya suatu hukum yang sudah ditetapkan. Sebagai contoh mani’ yang
menghalangi sebab hukum ialah tentang hutang. Apabila seseorang mempunyai
hutang sebanyak hartanya, maka tidaklah wajib dia membayar zakat harta
tersebut.
Para
ulama membagi mani’ menjadi lima macam:
a.
Mani’ yang
menghalangi sahnya sebab.
Contohnya
menjual orang yang merdeka, karena orang yang sah itu bukan harta, bukan barang
yang dapat diperjualbelikan.
b.
Mani’ yang
menghalangi sempurnanya sebab terhadap orang yang tidak melakukan akad dan
menghalangi sebab bagi yang melakukan akad.
Contonya jika A
menjual pada barang pada B tanpa setahu si B. Maka penjualan itu tidak sah jika
tidak dibenarkan oleh si B karena ada mani’ yaitu menjual bukan haknya.
c.
Mani’ yang
menghalangi berlakunya hukum
Contohnya
khiyar syarat oleh si penjual. Si A menjual barang pada si B tetapi dengan
syarat si B boleh berfikir selama tiga hari, jika dalam tiga hari ini berubah
fikiran maka tidak jadi membelinya.
d.
Mani’ yang
menghalangi sempurnanya hukum.
Contohnya dalam
khiyar ru’yah. Khiyar ini tidak menghalangi memili barang, hanya saja milik itu
belum sempurna sebelum melihat barang itu oleh pembeli walaupun sudah diterima.
e.
Mani’ yang
menghalangi kelaziman hukum
Seperti khiyar
‘aib. Temponya adalah tiga hari, pembeli
boleh melakukan kekuasaan terhadap barang yang sudah dibelinya sebelum di cek
baik atau buruknya, jika terjadi cacat maka boleh mengembalinya dengan
perantara hakim atau atas kerelaan penjual.
4. Azimah dan Rukhshah
Azimah ialah hukum yang dituntut syara’ dan bersifat umum,
tidak ditentukan berlakunya atas suatu golongan atau keadaan tertentu. Contohnya ialah kewajiban menjalankan shalat
lima waktu.
Rukhsah ialah suatu hukum yang diatur oleh
syara’ karena ada udzur (halangan) yang menyulitkan. Hukum rukhsah dikecualikan
dari hukum azimah, yang umumnya berlaku selama ada udzur yang berat dan seperlunya
saja, dan hukum rukhsah ini datang setelah hukum azimah. Contohnya dibolehkan
mengqashar shalat wajib dari empat rakaat menjadi dua rakaat.
5. Sah dan
Batal
Sah mempunyai dua arti: (Muchtar, 1995: 37)
ð Melepaskan tanggung jawab dan menggugurkan kewajiban (qadla di
dunia)
ð Memperoleh pahala atau ganjaran
Suatu amalan dapat dianggap sah jika
sudah memenuhi rukun dan syarat suatu amalan itu.
Batal mempunyai dua pengertian, yaitu:
ð Tidak mencukupi kewajiban yang dituntut mengerjakannya
ð Tidak mendapatkan pembalasan di hari akherat nanti.
B.
HAKIM
1.
Pengertian
Secara
etimologi, hakim mempunyai dua pengertian yaitu:
ð Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum.
ð Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan dan menyingkapkan hukum
Dari definisi
itu dapat dipahami bahwa “pembuat hukum“ dalam perspektif Islam adalah Allah
SWT. Dia menciptakan manusia di atas bumi ini dan Dia pula yang menetapkan
aturan - aturan bagi kehidupan manusia, baik hubungannya dengan kepentingan
hidup di akhirat, baik aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah
maupun hubungan manusia dengan sesamanya dan alam sekitarnya.
Sebagaimana Firman Allah yang
tercantum dalam:
1.
Surat Al An’am:
57
ÈbÎ)
ãNõ3ßÛø9$#
wÎ)
¬!
( Èà)t
¨,ysø9$#
( uqèdur
çöyz
tû,Î#ÅÁ»xÿø9$#
ÇÎÐÈ
Artinya: “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan
yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik".
2.
Surat Al
Maidah: 49
Èbr&ur
Nä3ôm$#
NæhuZ÷t/
!$yJÎ/
tAtRr&
ª!$#
wur
ôìÎ7®Ks?
öNèduä!#uq÷dr&
Artinya: “Dan hendaklah kamu
memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka…”
Mengenai hal ini, tentang
kedudukan Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum dalam pandangan Islam tidak
ada perbedaan pendapat di kalangan umat Islam.
2.
Kemampuan Akal Mengetahui Syariat
Ada tiga pendapat yang dikemukakan
oleh ulama ushul fiqh (Haroen, 1997: 289) antara lain:
a. Ahlusunnah
wal jamaah
Sebelum
diangkatnya Rasul dan turunnya syariat, akal tidak mampu menetapkan hukum.
b. Mu’tazilah
Akal manusia
mampu menentukan hukum - hukum Allah tersebut sebelum datangnya syariat.
c.
Maturidiyah
Perbuatan atau
perkataan yang dipandang baik atau buruk oleh akal tidak wajib dikerjakan dan
orang yang mengerjakannya tidak akan mendapatkan imbalan semata - mata melalui
akal.
C. MAHKUM FIH
1.
Pengertian
Mahkum Fih
Menurut ulama Ushul Fiqh, yang
dimaksud dengan Mahkum fih adalah obyek hukum yaitu perbuatan seorang mukalllaf
yang terkait dengan perintah Allah dalam aturan agama islam, baik yang bersifat
tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, tuntutan memilih suatu pekerjaan
dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal. (
Stafe’i)
Contoh:
a)
Firman Allah
dalam Surat Al Baqoroh: 43
و اقيمو االصلاة
Artinya: ”Dirikanlah Sholat”
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan
mukallaf untuk mengerjakan sholat atau
kewajiban mendirikan sholat.
b)
Firman Allah
dalam Surat Al Jumuah: 10
#sÎ*sù
ÏMuÅÒè%
äo4qn=¢Á9$#
(#rãϱtFR$$sù
Îû
ÇÚöF{$#
(#qäótGö/$#ur
`ÏB
È@ôÒsù
«!$#
(#rãä.ø$#ur
©!$#
#ZÏWx.
ö/ä3¯=yè©9
tbqßsÎ=øÿè?
ÇÊÉÈ
Artinya:
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Dalam
ayat tersebut mengandung kebolehan mencari rezeki setelah shalat. Kebolehan ini
berkaitan dengan perbuatan mukallaf yaitu ibahah sehingga mencari rezeki
hukumnya mubah.
2.
Syarat –Syarat
Mahkum Fih
Para ulama ushul mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu taklif
(pembebanan hukum), yaitu :
a.
Mukallaf harus
mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuan dapat tangkap dengan
jelas dan dapat dilaksanakan.
b.
Mukallaf harus
mengetahui sumber taklif. seseorang harus mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT. Sehingga
melaksanakan berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan perintah Allah semata.
c.
Perbuatan harus
mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan, dengan catatan
·
Tidak boleh ada
taklif terhadap sesuatu yang mustahil
· Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di taklifkan
untuk dan atas nama orang lain.
· Tidak sah suatu tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan
dengan fitrah manusia, seperti gembira, marah, takut, karena hal itu berada di
luar kendali manusia.
· Tercapaianya syarat taklif tersebut, seperti iman dalam masalah
ibadah, suci dalam masalah sholat.
D.
MAHKUM ‘ALAIH
1.
Pengertian
Secara etimologi mahkum
‘alaih ialah seseorang yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syara’, yang
disebut dengan mukallaf. Sedangkan menurut istilah orang mukallaf adalah orang
yang telah dianggap mampu bertindak hukum baik yang berhubungan dengan perintah
Allah maupun dengan laranganNya. (Haroen, 1997: 305)
Dari pengertian di
atas maka dapat kita ketahui bahwa perbuatan seorang mukallaf sangat terbatasi
oleh adanya hukum Jika ia melaksanakan perintah Allah maka ia akan mendapatkan
pahala dan berlaku pula sebaliknya yaitu jika ia melaksanakan larangan Allah
maka ia akan mendapatkan dosa.
2.
Dasar Taklif
Para ulama ushul fiqh
mengemukakan bahwa dasar taklif (pembebanan hukum) kepada seorang mukallaf
yaitu berdasarkan akal dan pemahaman. Oleh karena itu, jika seseorang tersebut
tidak tahu akan adanya hukum sesuatu, belum berakal seperti anak kecil, orang
dalam keadaan tidak sadar (tidur, lupa, mabuk, gila) maka orang-orang tersebut
tidak dikenai hukum.
Sabda
Rasulullah SAW:
رفع القلم عن ثلاث : عن النائم حتى يستيقظ و عن الصبي حتى يحتلم وعن
المجنون حتى يفيق.
Artinya:
Diangkatkan pembebanan hokum dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai ia
bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh. (H.R Al
Bukhori, Abu Dawud, Al Tirmidzi, Al Nasa’I, Ibn Majah dan Al Daruquthni dari
Aisyah dan Ali Ibn Abi Thalib)
3.
Syarat-Syarat
Taklif
Syarat-syarat orang mukallaf terbagi menjadi dua bagian: (Bakry,
1996: 158-159)
a)
Kemapuan
memahami Khitab Syar’i (tuntutan syara’)
Kemampuan
mengetahui taklif hanya dapat dicapai jika ia sudah berakal. Indikasi konkret
bahwa seseorang itu berakal atau belum ialah balighnya seseorang. Selanjutnya,
kemampuan bahasa arab seorang mukallaf juga menjadi pertimbangan lain untuk
pemberlakuan taklif.
b)
Ahli dan patut
ditaklifi
Ahli
dapat dikatakan orang yang cakap bertindak hukum dan pantas ditaklifi.
4.
Ahliyah
a)
Pengertian
Secara
etimologi ahliyah berarti kecakapan menangani suatu urusan . Sedangkan secara terminologi
ahliyah yaitu sifat yang dimilki seseorang, yanrg dijadikan ukuran oleh Syar’I untuk
menentukan seseorang teah cakap dikenai tuntutan syara’.
b)
Pembagian
· Ahliyah ada’
ð Sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah dianggap
sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat
positif maupun negatif.
· Ahliyah al wujub
ð Sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak - hak yang menjadi haknya,
tapi belum cakap untuk dibebani seluruh kewajiban.
c)
Halangan
Halangan
terbagi menjadi dua ketegori yaitu: (Muchtar, 1995: 46-61)
1.
Halangan yang
tak terduga
ð Gila, setengah gila yakni ma’tuh, lupa, tidur, pingsan, sakit, haid
dan nifas, mati.
2.
Halangan yang
diusahakan
ð Mabuk, berpura-pura atau bermain-main, safah[1], safar
(bepergian), silap atau tidak sengaja, hutang, paksaan.
BAB
III
PENUTUP
Dari pembahasan diatas dapat kita
lihat hukum islam ternyata sangatlah beraneka ragam ketentuannya. Tidak semua
orang mampu memahami hukum islam itu sendiri sehingga perlu adanya kajian
secara mendalam mengenai hukum islam. Hukum islam sangat erat kaitannya dengan
perbuatan manusia dalam keseharian, sehingga hukum islam yang bersifat amaliyah
khususnya, dapat berubah sesuai dengan keadaan.
Perlu kita ketahui bahwa dengan adanya
hukum yang ada dalam agama islam maka dapat dijadikan sebagai pembatas bagi
kita agar tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah. Hal ini dikarenakan,
segala hal yang dilarang olehNya pasti mempunyai arti kemadaratan ataupun
bahaya bagi diri kita, sehingga Allah menciptakan hukum dalam islam ini karena
Allah mencintai makhluk-makhluknya.
/
[1]
Safah yaitu
kurang akal atau serampangan (sesuka hati) dalam urusan menggunakan harta .
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Daud Mohammad. 1998. Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada.
Amrudin, Zen. 2009. Ushul Fiqh.
Yogyakarta: Teras.
Bakry, Nazar.
1996. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada.
Haroen, Nasrun.
1997. Ushul Fiqih I. Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu.
Muchtar, Kamal.
1995. Ushul Fiqih Jilid I. Jakarta: PT Dana Bhakti Wakaf.
Khalaf, Abdul
Wahab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama.
Khalaf, Abdul Wahab. 1994. Ilmu
Ushul Fiqh. Semarang: Toha Putra.
Khalaf, Abdul Wahab. 1996. Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu
Ushulul Fiqh). Jakarta:
PT
Raja Grafindo Persada.
Khalaf, Abdul
Wahab. 2003. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amini.